Pada beberapa dekade terakhir, Tuberkulosis (TB) paru menjadi masalah kesehatan yang besar di dunia, khususnya negara dengan tingkat ekonomi rendah dan tingkat epidemi HIV yang tinggi.
Peningkatan kasus Diabetes Mellitus (DM) di dunia juga telah lama diketahui, sebagai konsekuensi peningkatan kasus obesitas, perubahan pola makan dan aktifitas fisik penduduk dunia. Pasien-pasien DM di dunia, sebagian besar (70%) tingga di begara endemis TB. Data dari 22 negara dengan beban masalah penyakit TB terbanyak di dunia menyimpulkan bahwa prevalensi DM di negara-negara tersebut bervariasi dari 2%sampai 9%. delapan dari sepuluh negara dengan insiden DM terbanyak di dunia juga dikelompokkan sebagai negara dengan beban masalah TB terbanyak oleh WHO. Indonesia merupakan negara dengan tingkat beban masalah TB ke-2 terbanyak di dunia dan angka prevalensi penduduk DM ke-4 tertinggi di dunia.
Masalah keterkaitan antara DM dengan TB dan perannya masing-masing dalam patofisiologi penyakit pada manusia telah diketahui sejak zaman dahulu. Pasien-pasien TB umumnya mengalami suatu masalah gangguan imunitas tubuh karena infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan DM. Diabetes melitus dapat mempengaruhi gejala klinis pasien TB serta berhungan dengan lambatnya respons pengobatan TB dan tingginya tingkat mortalitas.
Hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Mellitus
Hubungan antara DM dan TB bersifat dua arah. Tuberkulosis dapat menyebabkan timbulnya kasus-kasus DM baru. Studi-studi juga telah menunjukkan prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa yang tinggi pada pasien TB. Diabetes dapat meningkatkan risiko terinfeksi Myocbacterium tuberculosis melalui beberapa mekanisme. Mekanisme-mekanisme tersebut diantaranya adalah yang berhubungan ;angsung dengan hiperglikema dan insulinopenia seluler, atau mekanisme tidak langsung terhadap fungsi sel pertahanan tubuh (makrofag dan sel limfosit), yang akan berdampak pada penurunan imunitas berupa gangguan respon selular pertahanan tubuh terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis akan menurun. Efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi, hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi sel neutrofil dan monosit (makrofag) dalam pertahanan tubuh. Akibatnya terjadi penurunan fungsi fagosit/ membunuh kuman dalam merespons serangan infeksi kuman M.tuberculosis.
Suatu infeksi seperti TB sering kali dapat memperburuk tingkat terkontrolnya gula darah pada pasien DM. Ada beberapa studi yang menemukan bahwa TB dapat menyebabkan DM pada pasien yang sebelumnya tidak memiliki riwayat DM. Studi-studi tersebut banyak menggunakan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk menunjukkan bahwa pasien dengan TB memiliki tingkat intoleransi glukosa yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Penyebab timbulnya hiperglikemi pada pasien dengan riwayat TB sebelumnya belum diketahui pasti. Ada beberapa mekanisme yang dihipotesiskan seperti mekanisme inflamasi yang dicetuskan oleh kuman TB akan merangsang pengeluaran sitokin IL-6 dan TNF-α. Hal ini dapat meningkatkan resistensi insulin dan penurunan produksi insulin, yang berdampak timbulnya kondisi hiperglikemi.
Gejala klinis, radiologis Tuberkulosis paru pada Diabetes Mellitus
Pada TB dengan DM umumnya dijumpai pada usia tua (di atas 40 tahun) dibandingkan pasien TB tanpa DM. Hal ini dimungkinkan karena keterkaitan kasus DM tipe 2 yang sering ditemukan pada usia tua. Beberapa studi melaporkan tidak adanya perbedaan jumlah kasus DM dengan TB berdasarkan jenis kelamin, namun ada pula yang menyatakan lebih banyak kasus DM dengan TP pada laki-laki. Gejala klinis pada TB dan DM memiliki beberapa kemiripan, diantaranya penurunan berat badan dan kelelahan. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa karakteristik klinis pasien TB tidak jauh berbeda antara TB dengan DM dan TB tanpa DM. Gejala-gejala TB yang ditemukan seperti batuk lebih dari 2 minggu, kadang disertai darah, demam yang berkepanjangan, keringat malam yang berlebih. Untuk menegakkan diagnosis TB tersebut juga diperlukan pemeriksaan dahak dan radiologi foto toraks.
Jika dibandingkan dengan pasien TB non-DM, pasien TB dengan DM biasanya memiliki berat badan yang lebih besar. Keterlibatan organ ekstra-pulmoner pada pasien TB dengan DM memiliki frekuensi kejadian yang lebih jarang ditemukan dibandingkan TB tanpa disertai DM. Pasien DM yang menjadi TB paru memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi dan dapat menyebabkan komplikasi seperti koma dan mikroangiopati DM. Dalam sebuah penelitian di tahun 2013 didapatkan prevalens TB pada DM tipe 2 sebanyak 28.2%. Terdapat hubungan yang bermakna antara kontak dengan penderita TB, lama menderita DM dan kadar HbA1c dengan terjadinya TB paru pad apesien DM tipe 2.
Gambaran radiologi pasien tuberkolosis dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa sebagian besar populasi pasien DM dengan TB ditemukan kelainan infiltrat (gambaran seperti bercak putih berawan) pada foto toraks di lapang bawah paru. Pasien TB yang non-DM umumnya ditemukan infiltrat pada TB-DM dengan pasien pneumonia atau kanker. Pasien TB-DM khususnya pada usia tua lebih memungkinkan untuk didapatkan keterlibatan infeksi TB pada lobus bawah paru. Perubahan tekanan oksigen alveolar yang berkaitan dengan usia dan penyakit DM pada pasien TB diyakini mengakibatkan masalah di lobs bawah paru tersebut.
Profilaksisi Tuberkulosis paru pada Diabetes Mellitus
American Thoracic Society merekomendasikan uji tuberkulin dengan Purified Protein Derivated (PPD) untuk semua pasien DM dan bila ditemukan indurasi lebih dari 10mm maka dianjurkan penggunaan profilaksis atau pencegahan dengan obat isoniazid selama 6-12 bulan kecuali bila pasien telah menderita penyakit TB sebelumnya. Pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan foro toraks tiap dua tahun diperlukan pada semua pasien DM. Pemeriksaa ini harus diikuti lebih ketat pada pasien yang lebih dari 40 tahun atau dengan berat badan kurang dari 10% dari berat badan ideal. Setiap pasien DM dengan keluhan batuk tiba-tiba, kehilangan berat badan, foto toraks yang hasilnya abnormal atau kebutuhan dosis insulin yang meningkat untuk mengkontrol glukosa darah harus diwaspadai terjadi TB.
Tatalaksanan Tuberkulosis paru dengan Diabetes Mellitus
Saat ini data mengenai terapi TB dengan DM masih terbatas. Banyak pertanyaan yang belum ditentukan jawabannya seperti pasien TB dengan DM yang cenderung gagal pengobatan TB-nya apakah perlu dilakukan pengawasan terhadap konsentrasi obat, penyesuaian dosis atau mungkin dengan penambahan jangka waktu konsumsi OAT. Organisasi International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa belum terdapat bukti yang cukup untuk mengganti pengobatan standar TB yang ada ataupun membuat rekomendasi baru dalam penanganan TB pada pasien DM. Infectious Disease Society of America (IDSA) menyatakan bahwa pasien dengan tampakan kavitas saat foto toraks pertama kali dan hasil kultus positif setelah 2 bulan terapi obat TB meningkatkan resiko kambuh. Pasien dengan kriteria seperti ini sebaiknya memperpanjang fase lanjutan menjadi 7 bulan dengan total masa terapi TB sebanyak 9 bulan.
Dosis Obat TB Pirazinamid dan Etambutol pada umumnya perlu disesuaikan pada pasien dengan nefropati diabetik berdasarkan nilai kreatinin pasien. Panduan obat dengan regimen OAT 2RHZ(E-S)/4RH pada regulasi gula darah terkontrol/baik, 2RHZ(E-S)/7RH pada regulasi gula darah tidak terkontrol, aspek pengontrolan DM, penggunaan obat Etambutol yang berhati-hati karena efek samping ke mata yang sering menjadi komplikasi penyakit DM, peningkatan dosis obat Rifampisin karena dapat mengganggu efektivitas obat oral antidiabetik dan pengontrolan kembali pasien setelah selesai menjalani terapi merupakan tata laksana TB paru dengan DM yang perlu diperhatikan.
Dr. Herman Suryatama
Sp.P | Doctor