You can control your asthma : ACT NOW!

You can control your asthma : ACT NOW!

Dalam rangka Hari Asma Dunia 2009, GINA (Global Initiative for Asthma) dan WHO mencanangkan tema :”You Can Control Your Asthma: ACT NOW!” (Anda bias mengontrol Asma Anda, Bertindak Sekarang!)

Pada kenyataanya kurang dari 5 % pasien asma dengan asma terkontrol, atau dapat dikatakan hamper seluruh pasien belum terkontrol. Prevalens asma di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2003 di Jakarta Timur diadakan penelitian pada anak SMP, didapatkan hasil prevalensi sebesar 11,2% dan tahun 2008 meningkat menjadi 12,5 %. Berbagai factor yang mempengaruhi terjadinya asma salah satunya adalah polusi udara dan perubahan gaya hidup. Asma dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) merupakan penyakit terbanyak yang dijumpai di pusat-pusat kesehatan paru di Indonesia.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah pasien asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025. “Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat asma merupakan penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma di dunia”, ungkap Prof.Dr.Faisal Yunus, Ph.D, SpP(K), FCCP, Ketua Umum Dewan Asma Indonesia (DAI) saat jumpa pers Hari Ama Dunia 2009 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.

Di dunia penyakit asama termasuk 5 besar penyebab kematian, yaitu mencapai 17,4%. Di Indonesia, Penyakit ini masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Hasil penelitian International Study on Asthma and Alergies in Chilhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk Indoensia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.

Selama 20 tahun terakhir, penyakit ini memang meningkat dengan kasus kematian yang diprediksi akan meningkat sebesar 20% hingga 10 tahun mendatang. WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat 255.000 pasien meninggal dunia karena asma. Ini bukan angka yang sedikit. Tingginya angka kematian akibat asma banyak disebabkan control asma yang buruk serta sikap pasien dan dokter yang seringkali meremehkan tingkat control asma. Padahal asma yang tidak terkontrol dapat membatasi kualitas hidup secara drastis dan kesejahteraan penderita beserta anggota keluarganya.

Asma, sering salah diagnosa

Asma merupakan gangguan kesehatann yang dapat menyebabkan kehilangan hari kerja bagi para pekerja, kehilangan hari sekolah bagi anak sekolah, gangguan aktivitas, gangguan social dan terhambatnya kegiatan bagi ibu rumah tangga , sehingga asma menjadi masalah serius pada nak dan dewasa.

Tujuan penatalaksanaan asma adalah tercapainya asma terkontrol. Asma terkontrol adalah keadaan pasien asma :

1. Tanpa gejala pada siang hari dan malam hari.

2. Tidak terhambat dalam melaksanakan aktivitas karena asma

3. Memiliki fungsi paru normal

4. Tidak menggunakan pelega

5. Tidak lagi berkunjung di UGD (Unit Gawat Darurat) karena serangan asma

Jika secara umum asma merupakan penyakit yang serikali underdiagnoses, maka pada kelompok anak keadaannya lebih parah. Pangkal masalah adalah karena seringkali banyak pihak, termasuk dokter, dalam melihat dan menilai anak sama seperti orang dewasa hanya dalam ukuran kecil (anak dianggap miniature dewasa).

Gejala penyakit pada anak orang dewasa relative cukup khas dibandingkan gejala pada anak. Pada pasien asma dewasa, gejala sesak napas disertai suara mengi biasanya sangat menonjol sihingga diagnosisnya lebih mudah. Pada anak gejala mengitidak selalu berarti asma. Semakin muda umur anak semakin banyak diagnosis banding dari gejala mengi. Sebaliknya, banyak anak dengan asma tidak mempunyai gejala mengi tetapi yang menonjol adalah gejala batuk kronik berulang.

Pada pasien dewasa di Indonesia dengan gejala batuk kronik dugaan utama penyebabnya adalah tuberkolosis (TB). Hal yang sama diterapkan pada anak, sehingga hasil akhirnya adalah banyak sekali anak asma keliru didiagnosis sebagai TB

Faktor Resiko

“Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor genetik (keturunan) dan lingkungan”. Ujar Prof. Faisal. Berbagai macam hal di lingkungan dapat menyebabkan munculnya gejala asma dan menimbulkan serangan asma. Hal yang paling sering misalnya olahraga berat, allergen, bahan-bahan iritan dan infeksi virus. Pada kebanyakan penderita asma, gejala hanya muncul pada saat berolahraga berat atau saat terkena infeksi.

Asma Dapat Dikontrol

“Asma tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol”, tegas Prof.Faisal. Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sedemikian maju, namun penanganan asma di lapangan masih belum adekuat baik di Negara berkembang maupun Negara maju. Keadaan asma terkontrol yang menjadi tujuan penanganan asma masih belum tercapai pada sebagian besar pasien asma.

Menurut Prof. Faisal, masih banyak dokter di tingkat pelayanan primer yang belum menguasai penanganan asma standar.

Persepsi dan perilaku penanganan asma oleh dokter umum serta masyarakat tentang penyakit asma memang dinilai masih rendah. Konsep penanganan asma masih berorientasi pada pengobatan gejala/serangan asma, bukan pada pencegahan agar serangan tersebut dapat ditekan bahkan dihilangkan atau didefinisikan sebagai kontrol asma.

Penanganan jangka panjang belum banyak diterapkan. Penanganan penyakit asma perlu jangka panjang agar penderita asma dapat menjalani hidup normal. Hasil penelitian pada tahun 1997 mengenai “manfaat penggunaan secara bersamaan obat bronkodilator (pelega nafas) dan controller (pengontrol) inhalasi/hisap pada penderita asma dengan tinjauan khusus pada perbaikan klinis dan biaya pengobatan” menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan bronkodilator (pelega nafas) dan controller (pengontrol) mendapat serangan asma yang lebih jarang dan menurunnya kunjungan ke unit gawat darurat serta mengeluarkan biaya pengobatan jauh lebih sedikit. “dari penelitian yang dilakukan pada pasien rawat jalan di RS Persahabatan ini menunjukkan, bahwa penanganan asma yang baik dapat meningkatkan kualitas hidup pasien asma sekaligus mengurangi burden of diseases”, jelas Prof.Faisal.

Dari beberapa penelitian terakhir diketahui bahwa terapi kombinasi obat bronkodilator/pelega jangka panjang dan obat pengontrol dalam satu kemasan inhalasi memberikan hasil perbaikan gejala asma dibandingkan obat pengontrol tunggal dosis tinggi.

Cara pengobatan ini telah terbukti memberi keuntungan perbaikan faal paru dan penurunan gejala asma yang mengurangi biaya kedaruratan asma. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa pasien asma memiliki kemungknan untuk mendapatkan kualitas hidup layaknya orang tanpa asma, tentu saja dengan penggunaan obat kombinasi tersebut dengan tepat dan dalam jangka waktu yang direkomendasikan dokter.

Bagaimana Mengetahui Status/Tingkat Kontrol Aman?

Gina (Global Initiative for Asthma) dalam rekomendasi penatalaksanaan asma 2008 yang juga diadaptasi oleh Dewan Asma Indonesia, telah memulai upaya untuk  menyebarluaskan penggunaan ACT/Asthma Control Test guna mengetahui tingkat control asma secara mudah dan valid.

ACT terdiri dari 5 pertanyaan yang memiliki nilai maksimal 5 untuk masing-masing pertanyaannya. Jika pasien asma memiliki nilai maksimal 5 pada semua pertanyaan ACT atau total nilai 25 maka pasien berada dalam tingkat asma yang terkontrol total/penuh. Artinya pasien memiliki kualitas hidup yang sama seperti orang tanpa asma.

Hal yang harus diwaspadai pasien asma adalah jika nilai ACT berada dibawah angka 19 atau berada pada tingkat asma yang tidak terkontrol. Itu merupakan indikasi untuk segera mungkin berkonsultasi ke dokter guna mendapatkan evaluasi secara cermat agar pasien mendapatkan pengobatan yang dibutuhkan untuk menuju kepada kondisi terkontrol penuh.

Segera periksa status control asma anda. Konsultasikan hasilnya ke dokter anda dan laksanakan pengobatan yang direkomendasikan dengan benar dan sungguh-sungguh. Jangan biarkan asma mengontrol anda! Saatnya pegang kendali.